Kamis, 16 Mei 2013

Tersesat Ketika Menjadi Alien

Agustus tahun lalu dengan tak direncanakan, saya bersama teman saya Matahari dan Angga bertandang ke negeri ginseng, Korea Selatan. Bukan untuk berlibur tapi iseng mengikuti sebuah festival dan kompetisi periklanan Adstars. Dengan persiapan yang setengah matang, berangkatlah kita ke Korea sehari setelah lebaran. Ini adalah kali pertama bagi kita bertiga menginjakan kaki di negeri orang, merasakan negeri orang yang serumpun seperti Malaysia atau Singapore yang dekat pun belum pernah, bisa dibayangkan betapa seperti alien nya menginjakkan kaki di negeri yang dari bahasa, huruf hingga budayanya sangat berbeda.
Hujan

Pagi itu tanggal 22 Agustus pukul 9 waktu Korea, mendaratlah pesawat kami di bandara Incheon, hujan menyambut kedatangan kami. Begitu takjubnya kami ketika menginjakkan kaki di bandara Incheon, bandaranya luas, terang, tenang dan bersih. Setelah selesai dengan urusan imigrasi dan mengambil koper, bergegaslah kami keluar menuju Sevel untuk membeli T-Money dan menuju subway station. Perjalanan dari Incheon menuju Seoul memakan waktu sekitar 1 jam. Hanya sesekali bisa melihat pemandangan itupun hanya ketika menyebrangi selat kecil.
Di kereta saya teringat suatu hal, ketika pergi bersama Matahari dikombinasikan dengan Angga , menurut pengalaman pasti akan terjadi hal-hal "epic". Masih segar dalam ingatan ketika kita bersama-sama liburan ke Jakarta, ada kejadian tertinggalnya satu orang kita sebut saja Cahya. Waktu itu karena suatu hal Cahya ketinggalan kereta dan tidak jadi berangkat bersama kami dalam satu kereta. Hal epic lainnya pasti, pasti akan ternjadi begitu pikir saya sambil mempersiapkan mental.
Sampailah kita di Seoul Station dan disinilah semua dimulai. Di Seoul Station kami harus pindah jalur untuk sampai di statsiun dekat dengan hostel kami. Awalnya bayangan kami transfer jalur disini seperti pindah jalur di shelter bus way Harmoni, balik kanan grak sampai. Ternyata kami harus secara harafiah pindah stasiun, menaiki eskalator 3 lantai ditambah menyebrangi Seoul Station yang besarnya hampir sama dengan satu terminal Bandara Soekarno Hatta. Mungkin jika berjalan kaki secara alami tidak masalah, tapi ini dalam kondisi membawa koper dan ransel yang masing-masing 5 kg kurang lebih beratnya.
Suasana Seoul Station
Setelah melintasi bagian atas Seoul Station, kami turun ke bawah lagi ke Subway Station, kali ini tanpa eskalator! Disinilah kejadian epic dimulai, setiap kali kita masuk atau kadang saat keluar subway station kita diharuskan membayar "tiket" dengan cara menempelkan T-Money ke alat pembaca di gerbang masuk atau keluar, dan pintu pun terbuka. Seperti yang terlihat dalam gambar, saya berjalan di depan diikuti Angga kemudian Matahari. Dengan lancar saya masuk melewati gerbang, wow keren! saat Angga dan Matahari mencoba menempelkan T-Money nya ternyata pintu tidak tebuka dan terdengar bunyi peringatan, mendengarnya saya kemudian menoleh ke belakang ternyata mereka masih tertahan dibalik gerbang. Mencoba berkali-kali menempelkan kartu tetap tak bisa. Duh wis dimulai iki (duh sudah dimulai ini) begitu pikir saya, saya pun menhampiri mereka dibalik gerbang dan menanyakan apa yang terjadi. Beragam asumsi bermunculan entah kartunya rusak, saldonya habis lah. Kalau yang terakhir rasanya tidak mungkin karena nyatanya punya saya bisa dengan lancar masuk. Hampir setengah jam kita tertahan digerbang berbagai macam cara dilakukan termasuk mengisi lagi T-Money, dan raut muka yang kehilangan kesabaran mulai muncul di wajah Matahari. Melihat kelakuan kami di gerbang, seorang petugas kemudian datang menghampiri. Tanpa berkata-kata, dia menyuruh Matahari dan Angga lewat gerbang untuk difable dan ternyata bisa, wow keren! Lalu apakah mereka termasuk difable? ah entah lah tapi yang jelas sepertinya mereka menempelkan kartu mereka sebanya dua kali yang mengakibatkan data tentang stasiun sebelumnya terhapus. Begitu berhasil masuk, Matahari kemudian berteriak lumayan keras mengucapkan satu kata yang baru kali ini saya mendengarnya. Antara pengen ketawa ngakak tapi agak kasihan saya hanya bisa tersenyum menahan tawa. Pelajaran yang dapat dipetik adalah jika tujuan kalian di Seoul dekat dengan shelter bus dan ingin praktis, ada baiknya kalian naik bus karena tinggal duduk meski ada kemungkinan kena macet saat jam sibuk.
Peta menuju hostel

Sebuah kesalahan besar ketika mengira perjuangan kita untuk sampai hostel telah selesai. Rintangan selanjutnya adalah menapakiJalanan Seoul. Begitu sampai di Hyehwa Station yang kata peta dekat dengan hostel, kami segera keluar mengikuti petunjuk di peta yang diberikan oleh pihak hostel, keluar lewat pintu 4 dan behasillah kita menginjakkan kaki di jalanan Seoul. Berdasarkan peta seharusnya begitu keluar kita akan melihat Baskin Robbins dan ketika menikuti jalan kecil di bawah kita akan menemukan Dunkin Donuts, beberapa menit berjalan dan telah habis jalan kecil yang kita lalui, anehnya diujung jalan tidak menemukan Dunkin Donuts. Menengok ke kiri yang kita lihat adalah Starbucks, berarti kita sudah dekat begitu pikir kami. Lalu kami mencoba jalan ke arah utara menurut peta dan jika ada perempatan belok kanan pasti sudah sampai. Tapi ternyata setelah belok kanan yang kita jumpai sangat berbeda dengan yang ada di peta, tidak ada Sevel tidak ada Buy the Way, barulah kita sadar kalau kita tersesat.
Banyangan saya akan sebuah kota di negara maju itu pasti jalannya mulus, lebar dan rata. Mulus dan lebar memang benar adanya jalan raya disana bisa memuat enam lajur kendaraan sementara sehari-hari paling lebar yang kita temui 4 lajur. Tapi rata, jangan harap mendapati jalanan di Seoul rata semua, yang ada malah berbukit-bukit, naik turun. Bayangkan saja jalan kaki, tersesat, memabawa koper dan ransel, musim panas yang justru di Indonesia pada bulan Agustus sedang dingin-dinginya, di Seoul begitu lembab dan diatas 27 derajat celcius.
Salah satu gang di perkampungan setempat

Gang demi gang kami lewati, jalanan sepi jarang menemui orang yang sepertinya mampu ditanyai bahasa inggris. Ditengah kebingungan dan rasa hampir putus asa, di suatu perkampungan penduduk bertemulah dengan seorang kakek yang sepertinya baru bangun, berdiri di depan rumahnya mengamati tingkah kami. Mungkin heran kenapa ada orang asing ada di daerah itu. Saya pun mencoba menyapa dan iseng bertanya, melihat dari rumahnya yang lumayan bagus dibanding yang lain saya berasumsi setidaknya dia mengerti bahasa inggris sedikit-sedikit, "Annyeonghaseyo.." dia hanya mengangguk dan menunduk tanda paham dengan sapaan saya. "do you know this place?" lalu kakek itu hanya geleng-geleng dan berkata dalam bahasa korea kalau dia tidak bisa bahasa inggris "no..no.. yeongeo aniyo" "ooh..gamsahamnida" sambil tersenyum saya menatap wajah si kake dan beranjak pergi, tapi si kake masih mengajak bicara "yu..yu..from? thaiguk?" dia mengira kami turis dari Thailand "oh no, i'm from Indonesia" "Indonesia?" sepertinya dia tidak tahu tentang Indonesia dan saya malah menjelaskan dimana Indonesia itu "you know Bali?" dan memang manjur, semua orang di Korea pasti tahu Bali.
Sambil terus berbicara dalam bahasa korea di menunjuk-nunjuk jalan yang sepertinya kita disuruh bertanya pada polisi buktinya diujung jalan itu ada pos polisi. Ditengah keputusasaan itu Matahari melontarkan sebuah ide gila, idenya adalah kembali ke stasiun dan berangkat langsung ke Busan naik kereta. Terang saja ide dari Matahari saya tolak mentah-mentah mengingat akal saya masih jalan. FYI, tiket kereta dari Seoul ke Busan itu antara 20.000-50.000 won yang berarti 200.000-500.000 rupiah padahal kita sudah dapat tiket bus gratis ke Busan, belum lagi kita kehilangan 100.000 untuk kamar yang telah di booking dan mencari lagi hostel di Busan mengingat acara baru dimulai tanggal 23, sungguh buang-buang uang yang teramat sangat.
Karena Angga juga tidak setuju kami melanjutkan pencarian dan mencoba bertanya pada segerombolan anak SMA (mungkin) dengan harapan anak SMA pasti tahu bahasa inggris, tapi ternyata mereka juga  tidak bisa bahasa inggris, pada akhirnya kami bertanya pada seorang pria berumur sekitar 20an akhir. Dia paham bahasa inggris tapi tidak bisa berbicara bahasa inggris, dia menunjukkan kami melalui peta di handphone nya, lah dari tadi kesulitan baca peta malah dikasih peta lagi. Melihat kami juga tidak paham, dia mencarikan kami taxi dan menjelaskan pada supirnya. 
Betapa bodohnya kami, kenapa dari tadi tidak mencari taxi saja. Mengikuti petunjuk di GPS nya pak supir taxi mengantarkan kami sampai tepat di depan hostel. Di hostel kami disambut dengan ramah dan penuh senyuman, "what took you guys so long?" tanya seorang resepsionis yang saya lupa namanya "aaah...long story" jawab saya dengan senyum yang terpaksa. setelah check in diantarlah kami ke kamar yang kami pesan.
Kamar hostel
Begitu sampai kamar yang dingin, kami langsung merebahkan badan di kasur dan mengakses internet. Jam telah menunjukkan pukul 2 dan itu berarti kita telah menghabiskan waktu lebih dari 3 jam sejak kita sampai di Seoul untuk menghadapi berbagai masalah ketika mendarat di Seoul. Setelah beristirahat sebentar kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengunjungi beberapa objek wisata gratis di Seoul, dari situ kita menyadari bahwa jalan kecil yang kita ambil tadi tidak ada dalam peta, daan disitulah semua kesesatan bermula, kenapa juga jalan segede itu tidak dicantumkan dalam peta, dan jalan segede itu kenapa hanya dianggap jalan kecil? Mungkin pemahaman kita akan jalan kecil disini dan disana agak berbeda. Dan begitulah hari pertama di Korea berlalu, keesokan paginya kami berangkat ke Busan untuk mengikuti Adstars. Tunggu cerita tentang kenekatan kami di Korea di postingan selanjutnya, annyeong...


0 comments:

Posting Komentar