Jumat, 31 Mei 2013

Hari Ke-151

Tinggal beberapa menit lagi bulan Mei akan pergi meninggalkan kita. Ya, hari ini tanggal 31 Mei dan besok sudah tanggal 1 Juni. Bulan yang selama tiga tahun terakhir ini saya tetapkan sebagai salah satu bulan yang istimewa. Selain karena sejak saat itu 31 Hari Menulis terlahir di dunia, sejak saat itu juga saya menganggap bulan Mei sebagai barometer bagi bulan-bulan berikutnya.

Mengapa sebagai barometer? Karena ketika banyak hal baik yang dilakukan hingga Mei berakhir maka di bulan-bulan berikutnya semua akan berjalan dengan baik dan bahagia, halah. Tapi memang seperti itulah pola-pola yang sudah terulang selama tiga tahun belakangan ini, setidaknya bagi saya.

Hingga hari ke seratus lima puluh satu ini alhamdulillah saya selalu diberi kesehatan, tak ada satu haripun yang saya lalui dengan sakit. Mungkin ada beberapa jam yang saya lalui dengan sakit kepala, tapi tidak signifikan. Semoga saja di tahun 2013 saya tidak pernah sakit sama sekali, amin.

Namun demikian sepertinya tahun 2013 ini akan berlalu sangat cepat dan hampir tak terasa. Hingga hari ke-151 ini saja saya merasa telah melewatkan banyak hal dengan percuma. Banyak peluang emas yang seharusnya bisa saya ambil jika saja punya keinginan yang kuat. Semoga saja ini yang terakhir dan tidak terulang lagi mulai besok, hmmm atau beberapa menit lagi lebih tepatnya.

Good bye May...

Kamis, 30 Mei 2013

Menanti Kepastian Darimu

Pagi ini pukul 08:28 kuterima SMS darimu. Tak perlu menunggu lama langsung saja kubalas SMS darimu. Menit demi menit kutunggu balasnmu tapi tak kunjung kuterima, menit berganti jam, satu jam, dua jam, balasanmu tak kunjung datang. Segala macam pikiran negatif mulai datang memenuhi kepala.

Makan tidak tenang, mandi pun juga tidak tenang. Yasudahlah, mungkin memang sedang sibuk begitu pikirku. Karena jam sudah menunjukkan pukul 09:45 aku bergegas berangkat ke kampus karena memang sudah ada janji, tapi aku masih mengharap balasanmu sesegera mungkin.

Dalam perjalanan ke kampus pikiranku tetap tidak tenang. Tak ada getaran apapun yang kurasakan di saku kiriku. Sesekali aku sempatkan melihat handphone ketika lampu menyala merah, siapa tahu ada balasn darimu. Ah..benar-benar mulai khawatir karena tak segera mendapat balasan darimu. Apakah ada yang salah dari SMS ku tadi?

Sampai di kampus lagi-lagi aku tak melihat notifikasi apapun pertanda belum ada balasan darimu. Rasa khawatir, panik, dan takut semakin terasa menyiksa di pikiran dan hatiku, tapi apa yang bisa aku perbuat? Ketika bertemu dengan teman-temanku, pikiranku seolah-olah tak hadir bersama badanku. Berkali-kali ku lihat handphone dan coba ku SMS lagi dan lagi, tapi tak ada balasan, rasanya begitu tersiksa.

Hingga tulisan ini hampir selesai ditulis, tak ada kepastian darimu. Berbagai upaya telah aku coba untuk mendapat kepastian darimu, termasuk mementionmu di twitter tapi tak ada kepastian juga. Tidak tahukah kau betapa tersiksanya menanti balasan dan kepastian darimu. Aku hanya takut, takut kehilanganmu seratus ribu rupiah! wahai Indosat segeralah beri kepastian apakah aku salah mendaftar paket internet dan kehilangan seratus ribu rupiah atau memang belum terdaftar karena jaringan yang sibuk? Ah...harusnya aku berbahagia di hari ulang tahunnya Yoona, tapi kenapa malah begitu galau seperti ini, wahai Soekarno-Hatta janganlah kau pergi begitu saja. Baiklah abaikan saja kalimat sebelum ini....


Rabu, 29 Mei 2013

Mulai?





Ah..kelihatannya simple dan indah di tulisan, tapi tak se-simple dan seindah itu rasanya. Kadang menjadi orang bodoh dan nekat itu penting...

Selasa, 28 Mei 2013

Bertemu Kembali

"Aku ada di kotamu sampai hari Minggu"
Begitulah SMS yang aku kirim padanya tiga hari yang lalu. Sampai detik ini dalam perjalananku ke stasiun, tak ada balasan sama sekali darinya. Mungkin dia sibuk atau mungkin dia sudah tidak lagi menyimpan nomorku, begitu pikirku di dalam taxi sambil memandangi jalanan menuju stasiun.

Sampai di stasiun, terlihat awan mulai menghitam tanda sebentar lagi hujan akan turun. Ku berikan uang sejumlah yang tertera di argo kepada pak sopir.

"Pak, bisa minta tolong bantu bawa koper saya yang satunya?" tanyaku pada pak sopir. "Oh iya, mbak" Pak sopir kemudian bergegas membuka bagasi dan mengambil koperku dan membawakannya sampai di depan pintu masuk stasiun.

"makasih Pak"

"iya mbak, selamat jalan" ucap pak sopir sambil memberikan senyuman, akupun mengangguk dan kubalas senyumannya.

Kulihat jam di handphone masih sekitar satu jam lagi keretaku berangkat. Belum sempat handphoneku masuk ke dalam saku, terasa getaran tanda ada SMS yang masuk.

"Masih di Jogja?" perasaan antara jengkel dan senang bercampur aduk ketika tahu pesan itu adalah balasannya setelah 3 hari berlalu.

Tanpa pikir panjang kumasukkan lagi handphone ku kedalam saku. Tak ada gunanya juga aku balas, begitu pikirku.
Setengah jam aku duduk di ruang tunggu bagian luar stasiun Tugu, entah kenapa aku tidak langsung masuk saja ke dalam dan menunggu kereta datang. Kulihat lagi handphoneku dan kutulis sebuah pesan singkat.

"Masih, tapi setengah jam lagi udah berangkat ke Jakarta hehehe..." entah apa yang aku pikirkan waktu itu seolah tangan ini reflek membalas SMS darinya. Tak lama kemudian sebuah SMS masuk, "Ooh..sayang sekali ga bisa ketemu, seminggu ini aku sibuk banget". Aku hanya mengehela nafas agak panjang, bingung harus ku jawab apa SMS itu. Daripada berpikir dan berharap yang tidak mungkin, langsung saja aku masuk ke dalam dan memutuskan untuk menunggu kereta di dekat peron.

Pukul 18:20 keretaku telah siap berangkat, menunggu semua penumpangnya naik kereta. Aku beranjak dari kursiku dan berjalan menuju kereta. Sampai jumpa Jogja, entah kapan aku akan kembali lagi ke kota ini. Begitu pamitku pada Jogja, kota tempatku mengukir berbagai kenangan indah.

Tanpa menengok lagi ke belakang aku terus berjalan menuju pintu gerbong dimana aku akan duduk. Beberapa langkah lagi aku masuk ke dalam kereta, tapi langkahku terhenti ketika menyadari ada yang menggenggam tangan kananku dari belakang. Secara reflek aku menengok ke belakang dan terkejut ketika mendapati seorang yang sudah tak asing, ada di belakangku. Hanya dalam hitungan sepersekian detik mataku terasa berat dan berkaca-kaca serasa akan meneteskan air mata. Spontan aku memeluknya tanpa memperdulikan sekitar dan membenamkan mukaku di dadanya seolah tak mau seorangpun melihat air mataku menetes.

"Hey...kamu sedikit lebih tinggi sekarang..."

Begitu yang dia katakan ketika menerima pelukkanku, sambil sesekali mengusap dan membelai rambutku.



Bersambung....

Senin, 27 Mei 2013

Belajar Membaca Huruf Alien

Bulan puasa tahun lalu adalah bulan puasa paling selo sepanjang 5 tahun belakangan ini. Selain pada tahun 2012 bulan puasa berbarengan dengan liburan semester genap, pada tahun itu saya juga sudah resmi menyandang gelar mahasiswa tingkat akhir yang sudah tidak punya beban kuliah. Seperti biasa ketika libur semester genap, Jogja serasa sepi karena ditinggal mahasiswanya pulang ke daerah masing-masing. Biasanya yang paling menderita adalah mahasiswa yang berdomisili di Yogyakarta, tak punya teman dan akhirnya hanya menghabiskan liburannya di rumah.

Sebenarnya liburan semster genap tahun lalu tidak terlalu selo juga karena saya dan Matahari disibukkan dengan persiapan berangkat ke Korea. Mulai dari membeli tiket, memasukkan proposal kesana kemari, dan mengurus visa. Selesai semua urusan dokumen dan tiket beres, saya melakukan riset hal-hal dasar apa saja yang dibutuhkan untuk bertahan hidup disana selama seminggu. Seperti yang kita ketahui Korea memiliki bahasa dan huruf sendiri, hurufnya disebut hangeul. Meski disana hampir setiap papan petunjuk ditempat umum juga dilengkapi dengan huruf romawi, saya tetap penasaran untuk mengetahui bagaimana cara membacanya.

Waktu itu ketika sedang membuka pinterest saya menemukan beberapa tutorial singkat membaca hangeul. Ternyata dari beberapa pin dan artikel yang saya baca, ketika ingin belajar bahasa korea sebenarnya akan lebih mudah jika bisa membaca dan menulis hangeul dulu. Hal ini disebabkan romanization yang telah ada, kebanyakan ditulis berdasarkan pelafalan dalam bahasa inggris sehingga akan sedikit membingungkan bagi beberapa pengguna bahasa lain misalnya saja bahasa Indonesia.

Klik untuk memperbesar
Kalau menurut saya, pelafalan hangeul sebenarnya mirip dengan pelafalan dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Korea huruf "O" dan "E" memliki berbagai pelafalan seperti yang ditemui dalam bahasa Jawa. Sekilas juga mirip dengan huruf-huruf yang ada di google glass nya Bejita ata orang saiya lainnya di Dragon Ball. Dan berikut adalah tabel periodik huruf Hangeul.


Cara penulisan atau baca Hangeul sama seperti huruf romawi, dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Setiap satu suku kata diwakili satu huruf yang tersusun dari 2-4 macam karakter. Jumlah karakter dasar dalam Hangeul ada 24 karakter, lebih sedikit dari jumlah huruf romawi dan lebih sederhana dibanding huruf kanji.

Pada akhirnya ketika sampai di Korea saya juga belum bisa membaca Hangeul. Justru mulai bisa setelah kembali lagi ke tanah air. Namun meski bisa sedikit-sedikit membacanya, saya masih belum bisa bahasa Korea karena memang belum belajar kosa katanya hahahaha.. Anyway, meski belum merasakan manfaatnya secara langsung, suatu saat pasti akan ada manfaatnya juga.

Minggu, 26 Mei 2013

TVC Pertama

Hari ini saya sangat selo sekali. Hampir 50% kegiatan saya cuma tidur dan sisanya online memantau timeline twitter yang sangat deras terupdate preview SNSD yang sedang ke Taiwan. Sepertinya saya mulai menyadari kenapa kuota internet handphone saya bulan ini begitu boros, karena bulan ini SNSD banyak aktifitasnya otomatis konsumsi internet di handphone meningkat juga hehehe.

Terlepas dari permasalahan itu, hari ini saya iseng membuka-buka laptop saya yang sudah tua. Laptop yang saya beli di semester 2 ini telah banyak merekam jejak saya. Seingat saya, laptop ini baru diinstal ulang sistem operasinya sebanyak 2 kali sehingga data-data lama banyak berdiam disitu. Iseng lah saya membuka folder My Videos, yang di dalamnya terdapat banyak sekali video-video hasil percobaan dan kegagalan saya waktu pertama kali membuat TVC untuk tugas PNI di semester 4.

Kata orang kegagalan atau kesalahan adalah tanda bahwa kita pernah mencoba atau berusaha. Kalau kita tidak pernah mencoba, gagal pun tidak apalagi berhasil, masuk akal. Jadi waktu itu ceritanya saya bersama teman-teman Kendil mendapat tugas membuat TVC untuk project terakhir kelas PNI dengan klien Mizone. Sebenarnya awalnya kita tidak diwajibkan untuk mengeksekusinya dalam bentuk TVC jadi, tapi karena ada satu kelompok yang sudah bisa mengeksekusinya dan jadi, maka semua kelompok secara tiba-tiba membuat TVC. Permasalahannya adalah waktu itu saya belum tau apa-apa tentang video, dan inilah hasilnya.



Apakah itu TVC yang berhasil? Tidak! buktinya waktu itu TVC ini mendapat banyak hujatan di kelas, entah idenya kurang tersampaikan, terlalu sepi, dan kualitas videonya kurang baik (pecah resolusinya) terutama untuk bagian terakhir atau bagian bumper out. Kemudian TVC tersebut mengalami beberapa revisi meski dengan ide yang sama, maklum waktu sudah mepet.



Pada akhirnya TVC tersebut juga direvisi lagi namun hanya bagian bumper out nya saja. Videonya belum sempat terupload, jadi akan disusulkan.

Seperti yang dikatakan orang tadi kegagalan atau kesalahan adalah tanda bahwa kita pernah mencoba atau berusaha. Dan karena kegagalan kita pasti akan mendapat masukan untuk menjadi bahan pembelajaran berikutnya agar lebih baik. Meski secara default saya sangat tidak suka mendengar kritikan, tapi saya akui kritikan selalu membuat saya lebih baik. Mungkin karena saya tidak suka mendengar kritikan maka pada kesempatan lain saya akan berusaha agar tidak mendengar kritikan lagi dengan menjadi lebih baik.

Sabtu, 25 Mei 2013

Memilih

Hidup atau mati?

Laki-laki atau wanita?

Anak nakal atau anak baik?

Pintar atau bodoh?

Nintendo atau Sega?

Mengiiyakan atau menolak?

Kembali atau meninggalkan?

Naik atau tidak?

Jogja atau Bantul?

IPA atau IPS?

Bilang atau pendam?

Berhenti atau bertahan?

Komstra atau Media?

Sekarang atau nanti?

Lanjutkan atau lupakan?

Art atau Copy?

Hidup itu selalu dihadapkan dengan pilihan...

Jumat, 24 Mei 2013

Bagaimana Jika

Bagaimana jika tiba-tiba ada seseorang yang memberimu uang tunai 1 triliun dan harus dihabiskan dalam waktu 1 jam?

Bagaimana jika suatu hari benar-benar ada hujan uang?

Bagaimana jika suatu hari tiba-tiba pujaan hatimu tanpa disangka mengatakan suka padamu?

Bagaimana jika kau diberi kesempatan untuk mengunjungi 10 negara di dunia tanpa mengeluarkan uang sepeserpun?

Bagaimana jika kau tiba-tiba diberikan koneksi internet 1 GBps di kamarmu?

Bagaimana jika tiba-tiba kau mendapat traktiran dari temanmu dan kau boleh memilih dimanapun tempatnya?

Bagaimana jika suatu hari kau bisa memilih pergi ke masa depan atau ke masa lalu untuk seumur hidup?

Bagaimana jika kau tiba-tiba menjadi orang terkaya di dunia dalam sehari?

Bagaimana jika kau diberi kesempatan untuk pergi ke berbagai tempat di seluruh alam semesta untuk 1 jam?

Bagaimana jika diberi kesempatan untuk terlahir kembali?

Bagaimana jika seluruh makanan di dunia ini enak?

Bagaimana jika kau bisa terbang?

Bagaimana jika kau bisa bernafas dalam air?

Bagaimana jika kau bisa menghilang?

Bagaimana jika kau bisa berpindah tempat dalam sekejap?

Bagaimana jika kau diberi kesempatan menjadi raja seluruh negara?

Bagaimana jika memang semuanya menjadi semudah membalik telapak tangan?

Bagaimana jika semua yang kau inginkan dikabulkan......

Orang-orang mungkin telah bersiap untuk kemungkinan terburuk dalam hidupnya. Tapi pernahkah mereka memikirkan kemungkinan terbaik yang bisa jadi menjadi kenyataan? Bagaimana jika ternyata apa yang kita doakan, kita inginkan, kita minta benar-benar diberikan? Bagaimana jika begitu?

Kamis, 23 Mei 2013

How to Learn Anything

Siang tadi ketika sampai di kampus, seperti biasa dengan reflek saya langsung melihat handphone. Notifikasi, twitter, path, instagram, SMS, email, apapun. Ada satu link youtube yang dishare Sinsko melalui twitter yang menarik perhatian saya. Karena koneksi internet yang agak payah, saya menambahkannya dalam watch later playlist. Dan sore ini ketika teringat dan menemukan kembali koneksi internet yang memadai, saya buka kembali video itu.



The First 20 Hours - How to Learn Anything, sebuah video presentasi TEDx yang dibawakan oleh Josh Kaufman. Seperti judulnya, video ini berisi tentang trik bagaimana mempelajari apapun. Mungkin lebih tepatnya mempelajari hal baru dengan waktu yang relatif lebih cepat.

Dalam presentasinya Josh mengemukakan bahwa rata-rata orang membutuhkan waktu sekitar 10.000 jam untuk bisa menguasai 1 hal. Sepuluh ribu jam jika dikonversi dalam angka tahun, kurang lebih sama dengan 1,14 tahun nonstop. Kurang lebih sama dengan kuliah 1 jam sehari selama 3 tahun, barulah kita bisa menjadi ahli dalam satu hal.

"Ahli dalam satu hal" berbeda dengan "bisa dalam satu hal". Ahli berarti menguasai dari A-Z tentang suatu hal, sedangkan "bisa" berarti mengetahui sebagian dari A-Z. Padahal tidak semua orang butuh untuk menjadi ahli. Dan sebenarnya hanya dibutuhkan waktu sekitar 20 jam untuk bisa satu hal.

Ada 4 langkah mudah untuk mempercepat proses mempelajari skill baru yang dikemukakan Josh Kaufman. Langkah pertama adalah Deconstruct the skill. Maksudnya adalah memecah-mecah apa yang akan kita pelajari menjadi bagian-bagian kecil, dan memilih bagian mana yang benar-benar kita butuhkan untuk menjadi bisa. Misal, kita ingin bisa menggunakan Photoshop. Ada banyak hal yang bisa kita lalukukan menggunakan Photoshop, retouch foto, membuat poster, manipulasi gambar, Digital Imaging dan sebagainya. Sebagai orang awam dan tidak bekerja di production house, kita tentu tidak membutuhkan kemampuan manipulasi gambar dan digital imaging untuk bisa memotong foto kita menjadi persegi.

Langkah kedua adalah Learn enough to self-correct. Tidak perlu menunggu sampai kita selesai mempelajari satu hal untuk berlatih. Berlatihlah sesegera mungkin dengan hal-hal kecil, sehingga jika salah bisa segera melakukan koreksi. Ketika kita belajar bermain basket tidak perlu menunggu sampai kita selesai mempelajari semua teknik bermain basket baru kita mulai berlatih. Selesai belajar bagaimana mendribble bola segera praktekkan.

Langkah ketiga adalah Remove practice barrier. Ketika kita sedang mempelajari sesuatu usahakan meminimalisasi distraksi-distraksi yang dapat mengganggu fokus kita dalam mempelajari satu hal. Semakin bersih dari distraksi, semakin mudah ilmu yang masuk dan semakin cepat kita menjadi bisa.

Kemudian langkah keempat adalah Practice at least 20 hours. Luangkan waktu setidaknya 20 jam untuk benar-benar melatih apa yang telah kita pelajari. 20 jam itu sama juga dengan 1 jam sehari selama 20 hari. Tidak perlu banyak-banyak asal benar-benar fokus berlatih.

Menariknya, menurut Josh Kaufman halangan utama ketika mempelajari hal baru bukanlah faktor intelektual yang kita miliki, tapi faktor emosional. Kebanyakan dari kita sudah merasa takut tidak bisa dan merasa bodoh sebelum mulai belajar. Padahal ketika kita sudah merasa bodoh dan tidak bisa, kita kemudian menjadi enggan untuk memulai apalagi terus berlatih.

Rabu, 22 Mei 2013

Namanya Arie

Kalau sedang males nulis banyak, mendeskripsikan foto adalah jurus andalan. Apalagi menceritakan kembali foto-foto masa lalu atau masa kecil kita. Karena obrolan kecil tadi siang di kantin, saya jadi ingat beberapa foto masa kecil yang pernah saya scan dan masih tersimpan di hardisk PC. Saya sendiri tidak punya banyak foto waktu masih kecil. Zaman dahulu berfoto tidak semudah zaman sekarang yang bisa dilakukan setiap saat karena hampir semua orang membawa kamera, dulu berfoto hanya dilakukan saat momen-momen tertentu saja karena keterbatasan media penyimpanan dan mahalnya biaya cetak.
Melihat foto-foto waktu masih kecil seringkali mengundang tawa melihat pose-pose aneh atau ketika mengingat momen saat foto itu dibuat. Banyak perubahan yang bisa kita saksikan, mulai dari wajah, orang-orang disekitar kita, rumah yang kita tinggali, mainan dan sebagainya. Berikut beberapa foto yang saya temukan di hardisk PC saya...

Ups...ini adalah satu-satunya foto telanjang yang saya miliki. Entah motivasi apa yang terlintas dibenak fotografer ketika momotret saya dalam kondisi seperti ini. Mungkin foto ini diambil karena terinspirasi dengan model-model sabun bayi waktu itu. Melihat dari wajahnya sepertinya foto ini diambil di tahun 1990.


Masih di tahun yang sama, ini adalah foto ketika saya belum meniup lilin ulang tahun. Sepertinya foto ini diambil setelah foto bugil dipinggir sumur.

Menurut time stamp yang ada di fisik foto ini, foto ini diambil pada Mei 1991. Saya sendiri heran, hanya dalam setahun lima bulan sudah berubah begitu drastis. Pada umur ini kalau tidak salah saya sudah mulai suka main mobil-mobilan.



Ini foto saya ketika berumur 2 tahun. Foto di atas adalah versi saya yang belum mandi dan foto di bawah adalah mode jalan-jalan. Pada saat itu saya sering sekali diajak jalan-jalan kemana-mana. Tempat terfavorit versi saya waktu itu adalah Kebun Binatang Gembiraloka. Waktu itu bonbin masih punya jerapah, dan itu adalah hewan favorit saya.




Ketika umur 4 tahun saya punya seorang adik yang berusia 1 tahun. Karena dia sangat bandel ketika disuruh foto, akhirnya yang muncul cuma separuh kepalanya saja. Enam bulan kemudian saya masuk TK, dan saat itu berakhirlah Arie yang petakilan dan hiperaktif.


Masih di usia 4 tahun, foto ini diambil ketika bulik saya menikah. Entah apa motivasi saya waktu itu, saya ngotot sekali minta didandani. Meski pada akhirnya saya tidak betah sendiri menggunakan pakaian itu.


Melompat ke tahun 2003, inilah wajah saya ketika duduk di bangku SMP kelas 1.


Saat saya SMA



Dan saat awal-awal masuk Komunikasi UGM. Banyak foto-foto yang jauh terlompati karena tidak ditemukan dimana keberadaanya dan tidak sempat di scan. Dan banyak hal yang sudah berubah memang, ya begitulah...

Selasa, 21 Mei 2013

Tak Ada Lagi Matahari di Kampus Fisipol UGM


Entah apa yang kami pikirkan siang itu di Bundaran HI Jakarta. Beberapa foto dengan pose seperti orang hilang akal pun tercipta di tengah keramaian Ibukota Indonesia. Dapat hadiah pun tidak tapi entah kenapa puas rasanya melakukan beberapa kebodohan tersebut. Kalau mengira kami melakukan aksi tersebut dengan lancar, kalian salah besar. Setelah beberapa frame gambar pose bodoh tersebut, kami dimarahi satpam daerah itu karena telah mengganggu keindahan.

Itu tadi adalah sebagian kecil cerita dari liburan nekat saya dan teman-teman di Ibukota. Waktu itu Juni 2010, setelah hampir enam bulan bergelut dengan mata kuliah PNI dan segala matakuliah lain, kami iseng memutuskan untuk liburan. Waktu itu kami menginap di rumah saudaranya Matahari, seorang teman saya yang "unik". Dan dari liburan itulah saya semakin percaya bahwa dia memang salah satu teman saya yang mungkin punya keturunan alien.

Nama lengkapnya adalah Matahari Asysyakuur, biasa dipanggil Matahari, mamat, atau Dimas. Untuk yang terakhir jangan tanyakan pada saya kenapa bisa begitu, karena saya juga tidak tahu pastinya. Pertama kali saya mengenalnya di tahun 2008, ketika saya menginjakkan kaki saya di Fisipol UGM sebagai mahasiswa baru jurusan Ilmu Komunikasi.

First impression yang saya dapat ketika pertama kali berkenalan dengan Matahari adalah seorang yang literally sangar, orangnya mungkin suka berkelahi dan tawuran, pendiam, apalagi setelah tahu kalau dia anak skate. Karena first impression itu saya kemudian agak segan dengan Matahari pada beberapa bulan awal kuliah.

Tapi jika sekarang saya ingat pemikiran itu, saya jadi merasa bodoh dan menyesal pernah punya first impression itu. Hampir satu semester mindset itu masih tertanam kuat di otak saya, karena waktu itu saya jarang sekali terlibat pembicaraan panjang dengan Matahari, sampai suatu ketika saya membaca blog nya yang berjudul Fantasi Matahari dalam postingan berjudul Manusia Pasir dan mendapat chat FB berisi link sukatoro dan semacamnya. Sejak saat itu mindset awal yang sempat terbangun, mendadak luluh lantak bagai rumah habis diterjang badai *face palm*

Sejak era komstra dimulai, saya semakin tahu seperti apa Matahari orangnya, dan ya memang sangat berbeda dengan apa yang terlihat. Jika kalian pernah membuka WTF Japan Seriously, ya seperti itulah gambaran tentang Matahari, berbeda. Ketika ada keanehan di timeline social media, tidak lain dan tidak bukan biasanya bermula dari Matahari. Ketika ada kejahilan yang kelewat hina, juga pasti hasil pemikiran Matahari. Dan ketika ada kejadian yang "epic" patut dicurigai ada hubungannya dengan kehadiran Matahari.



Terlepas dari segala keanehan Matahari, harus diakui Matahari adalah inspirasi bagi teman-temannya. Angga pernah berkata begini pada saya "Ketoke awakdewe nek memulai sesuatu mesti gara-gara Matahari disikan (kayaknya kita selalu memulai hal-hal baru karena Matahari memulai duluan)". Meski saya kadang agak jengkel dengan sikap Matahari yang keras kepala dan emosional ketika lapar, harus diakui bagi saya, Angga dan Cahya banyak hal-hal baru yang kami mulai karena terinspirasi dari Matahari. Mulai dari keisengan-keisengan dan kejahilan-kejahilan semua berasal dari Matahari. Ketika Matahari pertama kali ikut  kompetisi iklan dan menang, kami semua kemudian termotivasi untuk ikut berbagai macam kompetisi. Dan yang terakhir ketika Matahari berhasil mengerjakan skripsi dan lulus kami semua kemudian termotivasi untuk segera memulai skripsi. Matahari memang berperan sebagai matahari bagi teman-temannya.



Hari ini Matahari wisuda dan mendapat gelar sarjana. Lagi-lagi kami harus menyaksikan Matahari memulai sesuatu duluan. Bayangkan, temanmu bermain, kerja kelompok dan tersesat di negeri orang tiba-tiba sudah menjadi sarjana dan siap mengejar mimpi selanjutnya. Wisuda periode ini angkatan 2008 tak banyak yang diwisuda jika diandingkan bulan November atau Februari yang lalu. Ketika menghadiri pendadaran atau wisuda teman-teman seangkatan sebelumnya, tak sedikitpun rasa iri atau tergerak untuk segera ikut menyusul. Tapi ketika mendengar kabar Matahari lulus pendadaran dan wisuda, rasanya seperti ditampar agar segera bangun dari mimpi. Ya, mungkin memang lagi-lagi kita harus mengikuti jejak Matahari. Selamat sarjana Mat, selamat menggapai semua mimpi dan cita-cita. Sampai jumpa di awarding night Spikes Asia, Adfest, New York Festival, Clio, Adstars, dan Cannes Lions nanti...



Kita harus cepat sebelum jatuh ke tangan yang salah - Matahari Asysyakuur

Senin, 20 Mei 2013

Sistem Tarif Keberuntungan

Sampai detik ini saya masih belum menemukan ISP (Internet Service Provider) yang menawarkan paket internet yang "pas" atau setidaknya worth it. Paket internet ideal menurut saya sebenarnya cukup simple, asal youtube lancar tanpa buffering dan tak terbatas kuota apapun sampe masa aktif habis. Padahal paket-paket internet yang ada di Indonesia kalaupun ada yang unlimited, pasti ada FUP nya yang berakibat turunnya kecepatan ketika sudah melewati batas FUP. Sistem kuota biasanya kecepatanya stabil, tapi dibatasi volume data yang bisa diakses, hmmm serba salah memang...

Tulisan ini sebenarnya tidak akan membahas apapun tentang internet, paket internet atau dunia IT. Saya hanya ingin meminjam analogi dunia paket internet untuk membahas cerita saya kali ini. Saya akan bercerita tentang teori keberuntungan yang cukup saya percayai. Saya tidak mengutip darimanapun tentang teori ini, mungkin bisa dianggap saya menemukan teori ini dikepala saya sendiri yang berdasarkan pengalaman saya.

Ah.. sepertinya tulisan ini benar-benar tidak penting, tapi ya sudahlah. Jadi saya berpendapat bahwa keberuntungan itu seperti paket internet. Ada yang sistem volume base dan ada juga yang sistem unlimited dengan FUP. Sistem volume base yaitu ketika keberuntungan seseorang itu sebenarnya sudah dijatah untuk satu periode tertentu, keberuntungan yang dia dapat memang tidak menentu datangnya tapi ketika datang biasanya cukup terasa. Misal seseorang yang mendapat sebuah hadiah, bertemu artis, atau tiba-tiba dicium gebetannya hahaha.. Namun karena adanya pembatasan kuota, ketika keberuntungan yang didapatnya terlalu besar untuk sejenak keberuntungannya akan berhenti mengalir dan digantikan dengan nasib biasa saja atau kesialan. Ketika habis sebelum masanya maka kesialan berturut-turut akan terus hadir. Biasanya "paket" ini akan aktif lagi jika kita berbuat kebaikan meski hanya kecil. Tipe ini biasanya dimiliki kebanyakan orang.

Sedangkan sistem unlimited ya seperti namanya, keberuntungannya tak terputus. Tapi ada masanya ketika FUP nya telah mencapai batas maka keberuntunganya akan mengalir kecil. Dia tidak merasakan keberutungan yang berarti tapi setidaknya dia tidak merasakan kesialan. Orang-orang seperti ini memang tidak banyak, dan mereka lah yang sering disebut wong bejo.

Saya sendiri meyakini bahwa paket keberuntungan saya adalah sistem kuota. Ketika saya mendapat keberuntungan yang luar biasa, biasanya setelah itu ada kesialan-kesialan yang berdatangan. Masih untung kalau lama dan kecil-kecil itu tidak terasa. Tapi kadang ada pulang yang sedang-sedang dan begitu terasa. Seperti halnya kemarin malam, tiba-tiba saya mendapat undangan makan malam disuatu restoran pizza (ini keberuntungan lumayan besar), saat pulang saya mampir ke sebuah warnet untuk mengunduh beberapa video serial TV tapi ternyata tidak ada update semuanya (ini kesialan kecil sekali), selanjutnya di perjalanan pulang motor saya agak bermasalah mendekati macet tapi berhasil diatasi (ini kesialan sedang) dan puncaknya tadi sore motor saya benar-benar berhenti tak bergeming ditengah perempatan Gondomanan! Baiklah semoga itu puncak kesialan saya dan besok keberuntungan mulai mengalir lagi. Amin.

Minggu, 19 Mei 2013

Terjun dan Berseluncur

Secara default saya tidak suka olah raga. Berkeringat, kepanasan, dan kehabisan nafas adalah sebuah kombinasi paling tidak oke menurut saya, padahal ketiga hal tersebut sangat dekat dengan olah raga. Ketika sekolah sejak bangku sekolah dasar saya sudah tidak suka olahraga. Selain matematika, pelajaran olahraga adalah pelajaran yang rasanya seperti sedang menjalani hukuman, satu jam serasa satu hari.

Meski demikian ada beberapa olahraga di sekolah yang saya cukup enjoy menjalaninya, senam lantai dan berenang. Senam lantai tidak perlu mengeluarkan banyak energi dan banyak gerak, saya sangat percaya diri ketika gerakan roll depan/belakang, dan meroda. Bahkan dulu salto pun saya bisa, entah sekarang. Sedangkan berenang karena tidak terasa capek dan berkeringat ketika menjalaninya, meski saya hanya bisa 2 gaya, berenang adalah olahraga yang menyenangkan.

Saya memang tidak suka olahraga tapi bukan berarti saya tidak suka aktifitas luar ruangan. Saya suka jalan-jalan, saya suka tracking atau naik gunung, saya juga suka naik sepeda. Yang tidak saya suka hanyalah konsep mencari keringat dengan melakukan suatu aktifitas. Saya suka jalan-jalan karena saya suka mengunjungi tempat-tempat baru, saya suka tracking atau naik gunung karena saya suka melihat pemandangan yang indah, begitupun dengan bersepeda.

Dan meski saya tidak suka olahraga, bukan berarti saya tidak tertarik mencoba suatu olahraga. Belakangan ini saya tertarik untuk mencoba suatu olahraga ekstrem bernama Skydiving. Skydiving atau terjun payung adalah olahraga udara yang kegiatanya menjatuhkan diri ke bumi dari suatu ketinggian tertentu (biasanya menggunakan pesawat) dan memperlambat jatuhnya tubuh menggunakan parasut. Saya tertarik dengan olahraga ini ketika melihat aksi fenomenal Felix Baumgartner yang melakukan Skydivie dari lapisan stratosfer dalam campaign Red Bull beberapa waktu yang lalu. Selanjutnya saya selalu menjumpai olahraga ini di beberapa acara TV.
Felix Baumgartner bersiap meloncat

Meloncat dari ketinggian sekian ribu meter dari permukaan bumi sepertinya merupakan kenikmatan yang luar biasa. Momen-momen dimana kita merasakan melayang di udara. merasakan tarikan gravitasi, merasakan hembusan kencang udara, dan berteriak sekencang-kencangnya, huah sepertinya sebuah hal yang susah didefinisikan bahagianya.

Skydiving
Sayangnya di Jogja sendiri belum ada fasilitas untuk olahraga ini. Di Indonesia pun masih sangat jarang. Kalaupun ada biayanya juga lumayan mahal. Tapi meski demikian Skydiving adalah salah satu wishlist saya sebelum berusia 30 tahun, semoga saja segera terwujud.
Ski

Selain Skydiving ada satu olahraga lagi yang ingin saya coba, Ski. Dingin, meluncur dan cepat sungguh perpaduan yang sempurna :)

Sabtu, 18 Mei 2013

Bertahan Hidup Menjadi Alien: Makan

Hari ini saya akan bercerita lagi tentang pengalaman saya menjadi alien di korea Agustus tahun lalu. Ketika saya posting tentang Korea, bisa dipastikan saya sedang malas atau memang sedang ingin bercerita. Karena sebenarnya postingan tentang Korea sudah saya buat sejak September 2012 dan tersimpan dalam draft dalam bentuk postingan puaaaanjang sekali. Jadi untuk alasan setoran 31 Hari Menulis dan agar tidak lelah membacanya, saya potong-potong menjadi beberapa bagian.
Untuk postingan kali ini saya bercerita tentang pengalaman saya bertahan hidup dengan dana yang mepet. Di luar tiket, saya memberanikan diri berangkat ke Korea dengan membawa uang 200.000 Won + 100 US Dollar + 255.000 Rupiah. Sekedar informasi, waktu itu kurs Rupiah-Won adalah Rp 9 = 1 Won, dan nominal terkecil mata uang Won adalah 50 Won. Dari uang sebanyak itu, 36.000 Won sudah pasti terpotong untuk biaya hostel 2 malam, seperti apa hostelnya? akan saya ceritakan dilain postingan hehehe. Itu berarti 164.000 Won harus bisa digunakan untuk berbagai macam hal selama 7 hari di Korea.
Meski kita alien, makan tetaplah menjadi kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Yang menjadi masalah adalah ditanah orang, makanannya pun berbeda. Apalagi kita sebagai alien muslim ada beberapa pantangan dalam makan. Mungkin bagi beberapa orang cara bertahan hidup saya ini kurang mantab karena definisi dan standar "makan" yang berbeda. Saya sendiri mendefinisikan makan sebagai kegiatan mengunyah dan atau menelan makanan berupa benda padat atau cair agar tidak lapar dan bisa beraktifitas. Jadi selama makanan itu bisa membuat rasa lapar hilang itu sudah saya anggap makan, tidak peduli nasi atau makanan berkarbohidrat lainnya.
Di Korea sendiri sebenarnya tidak sulit mencari orang yang menjual makanan, sejauh mata memandang (selama di kota) pasti minimal ada satu orang/toko yang menjual makanan. Harganya pun bervariasi tergantung tempat dan kualitas makanannya, mulai dari 500 Won hingga yang di atas 10.000 Won. Namun karena kita adalah alian yang sudah dikenai beberapa pantangan, maka beberapa makanan tidak bisa kita makan.
Beberapa jam setelah tiba di hostel saya hanya makan pop mie yang saya bawa dari rumah, jadi itu tidak termasuk pengeluaran saya di Korea. Untuk makan malamnya kami mencoba nasi goreng seafood yang dijual dipinggir jalan dekat hostel kami.
Penjual Nasi Goreng
Karena penjualnya tidak bisa bahasa inggris, kemudian dia memanggil temannya yang sedikit bisa bahasa inggris. Lalu kami diberi menu yang ada huruf romawi nya. Di menu itu tertulis nama makanannya dan dilengkapi dengan harga 1 porsi. Hargannya bervariasi mulai dari 3000 Won hingga 6000 Won.

Menu Tong Bab
Setelah berkonsultasi mengenai menunya, saya memutuskan untuk membeli Phat Thai Cup Rice seharga 3500 Won. Awalnya saya sempat ragu akan porsinya ketika melihat gambar, di gambar porsinya kelihatan kecil sekali begitu juga ketika nasi selesai dikemas. Mahal begitu pikir saya melihat ukuran cupnya.


Oke desain cup nya cukup kreatif tapi esensi dari makanan bagi saya bukan disitu, tapi baiklah kita coba. Begitu saya buka dan saya makan sesendok dua sendok dan seterusnya, harus diakui rasanya sangat enak dan sepertinya saya harus menarik ucapan saya yang meragukan porsinya. Meski bentuknya kecil tapi isinya begitu padat.
Dari Pengamatan saya di hari pertama, makanan di korea sebenarnya tidak mahal. Secara nominal mungkin 3000-5000 terlihat mahal,  tapi jika dilihat dari porsi dan rasanya sepertinya itu hitungannya murah bagi saya saya yang porsi makannya tidak terlalu banyak dan biasa jajan di Jogja. Makanan disana akan murah ketika itu sayuran atau makanan yang menggunakan babi, tapi ketika itu seafood dan daging sapi harganya akan lebih mahal secara signifikan.
Selain makan besar, saya juga pernah beli snack dalam kemasan ketika perjalanan menuju Busan. Waktu itu Bus kami sedang beristirahat disuatu rest area di jalan toll. Waktu istrirahat 15 menit kami manfaatklan untuk ke kamar kecil dan jalan-jalan sebentar.


Agustus 2012 disana sedang hit nya PSY dengan Gangnam Style nya. Hampir disemua tempat memutar video klipnya termasuk di sebuah lapak CD dan kaset pita magnetik di rest area tersebut. Terlihat digambar lapak tersebut sedang memutar video klip Gangnam Style dan di atasnya ada poster SNSD *tetep*. 

Banana Corn
Dan inilah snack yang saya beli, harganya aga lupa berapa tepatnya kira-kira sekitar 1500-2000 Won. Saya memilihnya karena agak berbeda dengan yang lain, dan cukup berat secara fisik. Benar saja ketika dibuka isinya super banyak dan rasa pisangnya begitu terasa, itu berlaku juga bagi snack lain yang dibeli Angga. Sejak saat itu saya jadi berpikir, sepertinya snack di Indonesia itu mahal harganya, karena untuk harga yang sama di Indonesia hanya mendapat setengah isinya.
Di Adstars kami sudah difasilitasi makan untuk sarapan dan makan siang, sehingga lumayan menghemat pengeluaran selama 3 hari. Makanan untuk team Indonesia agak berbeda dengan yang lain karena berdasarkan request. tapi jika dilihat sepertinya makanan untuk Indonesia sedikit lebih mahal dari yang lain. Weekz..kimchi itu tidak enak (setidaknya jika tanpa daging).



Ketika makan malam biasanya kami membeli makanan instan di semacam mini market di lantai basement tempat kami menginap. Makanan yang kami beli antara lain Ramyeon atau semacam mie instan, nasi instan dan bubur instan. Meskipun tidak seistimewa makanan yang sebelum-sebelumnya secara rasa, setidaknya bisa menghilangkan lapar lah. Harganya bervariasi tapi seingat saya tidak sampai 3000 Won satu porsi, dan seperti biasa porsinya cukup banyak.


Makanan andalan saya ketika di Korea adalah Dunkin Donuts. Selain mudah ditemui, harganya terjangkau dan mengenyangkan. Di Indonesia setiap membeli Dunkin entah kenapa saya selalu merasa tidak puas baik dari rasa maupun harganya. Mungkin kareana Dunkin Donuts di Korea konsumen utamanya banyak yang anak-anak, menunya jadi lebih bervariasi dan murah. Awalnya saya membeli 3 biji makanan di dunkin, tapi karena selalu kekenyangan hari-hari selanjutnya saya cuma beli 2, itupun masih agak kekenyangan. Satu biji donut atau makanan sejenis harganya sekitar 1000-2000 Won tidak termasuk minum. Di hari terakhir saya di Korea malah melihat menu Banana Monkey (atau apa saya lupa) seharga 2000an Won yang isinya banyak, meski bentuknya tidak menarik. Sayang tidak ada foto yang representatif.

sisa-sisa dunkin
Untuk minum, paling mudah membelinya di Vending Machine, dimanapun tempatnya harga minuman tetap sama selama membeli di Vending Machine. Coca-cola kaleng standar, harganya sekitas 900 Won, Harga untuk minuman isotonik, jus buah atau minuman rasa buah biasanya lebih mahal sekitar 1000-1800an Won. Kalau sedang tidak ada vending machine biasanya saya membeli Powerade seharga 1500 Won di Sevel. Kalau di Indonesia harga minuman di vending machine justru lebih mahal daripada di mini market itupun jumlanya sangat sedikit dan saya baru melihat di Jakarta. Sementara di Korea kebalikannya, dan lebih mudah menjumpai vending machine dibanding mini marketnya.


Sebenarnya masih banyak makanan murah dan mengenyangkan di Korea, baik Busan atau Seoul. Seperti Kimbab, nasi yang digulung dengan rumput laut. Harganya sekitar 1000 Won, waktu itu yang tersisa hanya isi daging babi jadi saya tidak membelinya. Kalau kalian punya banyak waktu untuk jalan-jalan menelusuri sudut kota, masih banyak makanan khas Korea yang lebih enak dan mungkin lebih murah. Kalau boleh membandingkan, standar harga makanan di Korea mirip-mirip lah dengan makanan di Jakarta.

Jumat, 17 Mei 2013

Hari Yang Malas

Baru hari ketiga 31 Hari Menulis saya sudah mulai menulis random. Jujur hari ini saya sangat malas sekali memutar otak saya untuk mencari bahan untuk ditulis di hari ketiga ini. Oke, mungkin sebenarnya ada beberapa topik yang ingin saya tulis, tapi tetap saja saya terlalu malas untuk merangkai kata dan menuangkannya dalam tulisan. Ya, intinya hari ini saya malas sekali.

Setelah saya berkutat dengan pekerjaan yang cukup menguras pikiran, biasanya sehari setelahnya (jika masih selo) saya memilih untuk tidak melakukan apa-apa dan tidak memikirkan hal-hal berat. Hari ini pun begitu, setelah 2-3 hari yang lalu perhatian saya terkuras menatap Premiere untuk mengedit video, hari ini saya bermalas-malasan. Setelah bangun tidur jam 5, seperti biasa saya mengecek timeline twitter dan beberapa email masuk. Dan seperti biasa saya tertidur lagi hingga jam setengah 9, pindah ke ruang kerja menyalakan PC, membuka berbagai social media, membaca review buku, membaca fanfic, browsing dan browsing. Tidak meninggalkan rumah kecuali untuk sholat Jumat di masjid. Oh iya separuh hari selanjutnya saya habiskan untuk mencari referensi desain web. Beberapa minggu belakangan ini saya terpikirkan untuk membuat sebuah personal web. Web tersebut nantinya akan menjadi "halaman utama" menuju berbagai channel yang saya miliki termasuk semua portfolio di dalamnya. Mungkin nanti akan saya share desain dan konsepnya dalam waktu dekat.

Semua orang pasti punya rasa malas, menurut saya malas itu satu hal yang alami dan manusiawi. Bahkan orang terajin di dunia pun, di satu titik akan merasa malas. Dan setiap orang mempunyai cara tersendiri mengungkapkan atau menghilangkan rasa malasnya.

Saya biasanya menjumpai rasa malas salah satunya ketika dilanda stress atau tekanan. Saat saya hendak memulai pekerjaan yang tidak terlalu saya suka bahkan saya benci, stress pun melanda. Biasanya saya kemudian menunda-nunda pekerjaan tersebut atau ada saja ide-ide untuk melakukan sesuatu di kepala saya, dan hal-hal sepele yang biasanya tidak saya perhatikan tiba-tiba mencuri 100% perhatian saya. Seperti kemarin saya justru bisa menulis postingan panjang padahal saya sedang ada pekerjaan.

Untuk cara mengatasinya sayapun masih bertanya-tanya, karena katanya malas itu tidak ada dokter atau obat yang bisa menyembuhkan kecuali diri kita sendiri. Selama ini ketika malas melanda lebih sering saya menuruti rasa malas itu hingga tingkat stress jauh melebihi rasa malas dan pada akhirnya saya memulai suatu pekerjaan. Atau cara yang lebih melawan adalah dengan menyingkirkan hal sekecil apapun dari pikiran maupun tempat bekerja. Misal kalau saya sedang tidak ingin mentolerir rasa malas saya matikan browser di komputer dan pasang headphone dan matikan hape atau internet atau semua saluran informasi. Karena biasanya internet khususnya twitter bisa menjadi distraksi yang maha dahsyat untuk memperkuat rasa malas. Bagaimana caramu?



Kamis, 16 Mei 2013

Tersesat Ketika Menjadi Alien

Agustus tahun lalu dengan tak direncanakan, saya bersama teman saya Matahari dan Angga bertandang ke negeri ginseng, Korea Selatan. Bukan untuk berlibur tapi iseng mengikuti sebuah festival dan kompetisi periklanan Adstars. Dengan persiapan yang setengah matang, berangkatlah kita ke Korea sehari setelah lebaran. Ini adalah kali pertama bagi kita bertiga menginjakan kaki di negeri orang, merasakan negeri orang yang serumpun seperti Malaysia atau Singapore yang dekat pun belum pernah, bisa dibayangkan betapa seperti alien nya menginjakkan kaki di negeri yang dari bahasa, huruf hingga budayanya sangat berbeda.
Hujan

Pagi itu tanggal 22 Agustus pukul 9 waktu Korea, mendaratlah pesawat kami di bandara Incheon, hujan menyambut kedatangan kami. Begitu takjubnya kami ketika menginjakkan kaki di bandara Incheon, bandaranya luas, terang, tenang dan bersih. Setelah selesai dengan urusan imigrasi dan mengambil koper, bergegaslah kami keluar menuju Sevel untuk membeli T-Money dan menuju subway station. Perjalanan dari Incheon menuju Seoul memakan waktu sekitar 1 jam. Hanya sesekali bisa melihat pemandangan itupun hanya ketika menyebrangi selat kecil.
Di kereta saya teringat suatu hal, ketika pergi bersama Matahari dikombinasikan dengan Angga , menurut pengalaman pasti akan terjadi hal-hal "epic". Masih segar dalam ingatan ketika kita bersama-sama liburan ke Jakarta, ada kejadian tertinggalnya satu orang kita sebut saja Cahya. Waktu itu karena suatu hal Cahya ketinggalan kereta dan tidak jadi berangkat bersama kami dalam satu kereta. Hal epic lainnya pasti, pasti akan ternjadi begitu pikir saya sambil mempersiapkan mental.
Sampailah kita di Seoul Station dan disinilah semua dimulai. Di Seoul Station kami harus pindah jalur untuk sampai di statsiun dekat dengan hostel kami. Awalnya bayangan kami transfer jalur disini seperti pindah jalur di shelter bus way Harmoni, balik kanan grak sampai. Ternyata kami harus secara harafiah pindah stasiun, menaiki eskalator 3 lantai ditambah menyebrangi Seoul Station yang besarnya hampir sama dengan satu terminal Bandara Soekarno Hatta. Mungkin jika berjalan kaki secara alami tidak masalah, tapi ini dalam kondisi membawa koper dan ransel yang masing-masing 5 kg kurang lebih beratnya.
Suasana Seoul Station
Setelah melintasi bagian atas Seoul Station, kami turun ke bawah lagi ke Subway Station, kali ini tanpa eskalator! Disinilah kejadian epic dimulai, setiap kali kita masuk atau kadang saat keluar subway station kita diharuskan membayar "tiket" dengan cara menempelkan T-Money ke alat pembaca di gerbang masuk atau keluar, dan pintu pun terbuka. Seperti yang terlihat dalam gambar, saya berjalan di depan diikuti Angga kemudian Matahari. Dengan lancar saya masuk melewati gerbang, wow keren! saat Angga dan Matahari mencoba menempelkan T-Money nya ternyata pintu tidak tebuka dan terdengar bunyi peringatan, mendengarnya saya kemudian menoleh ke belakang ternyata mereka masih tertahan dibalik gerbang. Mencoba berkali-kali menempelkan kartu tetap tak bisa. Duh wis dimulai iki (duh sudah dimulai ini) begitu pikir saya, saya pun menhampiri mereka dibalik gerbang dan menanyakan apa yang terjadi. Beragam asumsi bermunculan entah kartunya rusak, saldonya habis lah. Kalau yang terakhir rasanya tidak mungkin karena nyatanya punya saya bisa dengan lancar masuk. Hampir setengah jam kita tertahan digerbang berbagai macam cara dilakukan termasuk mengisi lagi T-Money, dan raut muka yang kehilangan kesabaran mulai muncul di wajah Matahari. Melihat kelakuan kami di gerbang, seorang petugas kemudian datang menghampiri. Tanpa berkata-kata, dia menyuruh Matahari dan Angga lewat gerbang untuk difable dan ternyata bisa, wow keren! Lalu apakah mereka termasuk difable? ah entah lah tapi yang jelas sepertinya mereka menempelkan kartu mereka sebanya dua kali yang mengakibatkan data tentang stasiun sebelumnya terhapus. Begitu berhasil masuk, Matahari kemudian berteriak lumayan keras mengucapkan satu kata yang baru kali ini saya mendengarnya. Antara pengen ketawa ngakak tapi agak kasihan saya hanya bisa tersenyum menahan tawa. Pelajaran yang dapat dipetik adalah jika tujuan kalian di Seoul dekat dengan shelter bus dan ingin praktis, ada baiknya kalian naik bus karena tinggal duduk meski ada kemungkinan kena macet saat jam sibuk.
Peta menuju hostel

Sebuah kesalahan besar ketika mengira perjuangan kita untuk sampai hostel telah selesai. Rintangan selanjutnya adalah menapakiJalanan Seoul. Begitu sampai di Hyehwa Station yang kata peta dekat dengan hostel, kami segera keluar mengikuti petunjuk di peta yang diberikan oleh pihak hostel, keluar lewat pintu 4 dan behasillah kita menginjakkan kaki di jalanan Seoul. Berdasarkan peta seharusnya begitu keluar kita akan melihat Baskin Robbins dan ketika menikuti jalan kecil di bawah kita akan menemukan Dunkin Donuts, beberapa menit berjalan dan telah habis jalan kecil yang kita lalui, anehnya diujung jalan tidak menemukan Dunkin Donuts. Menengok ke kiri yang kita lihat adalah Starbucks, berarti kita sudah dekat begitu pikir kami. Lalu kami mencoba jalan ke arah utara menurut peta dan jika ada perempatan belok kanan pasti sudah sampai. Tapi ternyata setelah belok kanan yang kita jumpai sangat berbeda dengan yang ada di peta, tidak ada Sevel tidak ada Buy the Way, barulah kita sadar kalau kita tersesat.
Banyangan saya akan sebuah kota di negara maju itu pasti jalannya mulus, lebar dan rata. Mulus dan lebar memang benar adanya jalan raya disana bisa memuat enam lajur kendaraan sementara sehari-hari paling lebar yang kita temui 4 lajur. Tapi rata, jangan harap mendapati jalanan di Seoul rata semua, yang ada malah berbukit-bukit, naik turun. Bayangkan saja jalan kaki, tersesat, memabawa koper dan ransel, musim panas yang justru di Indonesia pada bulan Agustus sedang dingin-dinginya, di Seoul begitu lembab dan diatas 27 derajat celcius.
Salah satu gang di perkampungan setempat

Gang demi gang kami lewati, jalanan sepi jarang menemui orang yang sepertinya mampu ditanyai bahasa inggris. Ditengah kebingungan dan rasa hampir putus asa, di suatu perkampungan penduduk bertemulah dengan seorang kakek yang sepertinya baru bangun, berdiri di depan rumahnya mengamati tingkah kami. Mungkin heran kenapa ada orang asing ada di daerah itu. Saya pun mencoba menyapa dan iseng bertanya, melihat dari rumahnya yang lumayan bagus dibanding yang lain saya berasumsi setidaknya dia mengerti bahasa inggris sedikit-sedikit, "Annyeonghaseyo.." dia hanya mengangguk dan menunduk tanda paham dengan sapaan saya. "do you know this place?" lalu kakek itu hanya geleng-geleng dan berkata dalam bahasa korea kalau dia tidak bisa bahasa inggris "no..no.. yeongeo aniyo" "ooh..gamsahamnida" sambil tersenyum saya menatap wajah si kake dan beranjak pergi, tapi si kake masih mengajak bicara "yu..yu..from? thaiguk?" dia mengira kami turis dari Thailand "oh no, i'm from Indonesia" "Indonesia?" sepertinya dia tidak tahu tentang Indonesia dan saya malah menjelaskan dimana Indonesia itu "you know Bali?" dan memang manjur, semua orang di Korea pasti tahu Bali.
Sambil terus berbicara dalam bahasa korea di menunjuk-nunjuk jalan yang sepertinya kita disuruh bertanya pada polisi buktinya diujung jalan itu ada pos polisi. Ditengah keputusasaan itu Matahari melontarkan sebuah ide gila, idenya adalah kembali ke stasiun dan berangkat langsung ke Busan naik kereta. Terang saja ide dari Matahari saya tolak mentah-mentah mengingat akal saya masih jalan. FYI, tiket kereta dari Seoul ke Busan itu antara 20.000-50.000 won yang berarti 200.000-500.000 rupiah padahal kita sudah dapat tiket bus gratis ke Busan, belum lagi kita kehilangan 100.000 untuk kamar yang telah di booking dan mencari lagi hostel di Busan mengingat acara baru dimulai tanggal 23, sungguh buang-buang uang yang teramat sangat.
Karena Angga juga tidak setuju kami melanjutkan pencarian dan mencoba bertanya pada segerombolan anak SMA (mungkin) dengan harapan anak SMA pasti tahu bahasa inggris, tapi ternyata mereka juga  tidak bisa bahasa inggris, pada akhirnya kami bertanya pada seorang pria berumur sekitar 20an akhir. Dia paham bahasa inggris tapi tidak bisa berbicara bahasa inggris, dia menunjukkan kami melalui peta di handphone nya, lah dari tadi kesulitan baca peta malah dikasih peta lagi. Melihat kami juga tidak paham, dia mencarikan kami taxi dan menjelaskan pada supirnya. 
Betapa bodohnya kami, kenapa dari tadi tidak mencari taxi saja. Mengikuti petunjuk di GPS nya pak supir taxi mengantarkan kami sampai tepat di depan hostel. Di hostel kami disambut dengan ramah dan penuh senyuman, "what took you guys so long?" tanya seorang resepsionis yang saya lupa namanya "aaah...long story" jawab saya dengan senyum yang terpaksa. setelah check in diantarlah kami ke kamar yang kami pesan.
Kamar hostel
Begitu sampai kamar yang dingin, kami langsung merebahkan badan di kasur dan mengakses internet. Jam telah menunjukkan pukul 2 dan itu berarti kita telah menghabiskan waktu lebih dari 3 jam sejak kita sampai di Seoul untuk menghadapi berbagai masalah ketika mendarat di Seoul. Setelah beristirahat sebentar kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengunjungi beberapa objek wisata gratis di Seoul, dari situ kita menyadari bahwa jalan kecil yang kita ambil tadi tidak ada dalam peta, daan disitulah semua kesesatan bermula, kenapa juga jalan segede itu tidak dicantumkan dalam peta, dan jalan segede itu kenapa hanya dianggap jalan kecil? Mungkin pemahaman kita akan jalan kecil disini dan disana agak berbeda. Dan begitulah hari pertama di Korea berlalu, keesokan paginya kami berangkat ke Busan untuk mengikuti Adstars. Tunggu cerita tentang kenekatan kami di Korea di postingan selanjutnya, annyeong...


Rabu, 15 Mei 2013

Catatan Seorang (Yang Jadi) Editor Video

Ketika kalian masih kecil profesi apakah yang menurut kalian keren dan kalian cita-citakan? Sebagai generasi sebelum tahun 2000 sepertinya cita-cita itu tidak lepas dari profesi-profesi seperti Dokter, Guru, Pilot, Polisi atau mungkin Presiden. Mungkin sampai sekarang profesi itu masih cukup populer di mata anak-anak. Tapi menariknya sekarang makin bervariasi juga cita-cita anak kecil zaman sekarang. Terakhir ketika saya coba bertanya pada seorang anak kecil tentang cita-citanya, dia bercita-cita ingin menjadi supir truk sampah.
Saya sendiri pernah bercita-cita menjadi pilot pesawat terbang karena bisa terbang di langit dan katanya banyak duitnya, buktinya dulu anak kecil suka teriak-teriak "montor mabur njaluk duit e! (peasawat terbang minta uangnya!)" ketika melihat pesawat terbang melintas di langit. Ketika SD saya sangat terobsesi dengan pelajaran IPA, dan senang sekali melakukan percobaan-percobaan seperti di acara Indosat Galileo sehingga saya pun bercita-cita menjadi ilmuwan seperti Albert Einstein. Tapi setelah SMP dan mengetahui bahwa IPA dan Matematika adalah pasangan abadi, saya merasa dihianati dan akhirnya patah hati pada cita-cita saya menjadi ilmuwan *haduh*. Meski kemudian saya tertarik pada dunia IT dan turunannya tapi saya tidak pernah menyatakannya sebagai cita-cita saya. Dan kehidupan pun terus berjalan sampai detik ini.
Sepertinya benar adanya jika cita-cita itu penting dan cita-citalah yang akan menciptakan jalan hidup kita. Meskipun bukan cita-cita saya secara resmi, ketertarikan saya dibidang IT sepertinya telah menuntun saya ke posisi saat ini, sebagai seorang yang jadi editor video. Sebuah cerita yang panjang jika ditanya dimana hubungan antara IT dan editor video. Tapi ya begitulah adanya.
Editor Video, apakah itu profesi yang populer bagi anak 90an waktu itu? Tidak. Bahkan Profesi terpopuler di dunia pervideoan yang tidak populer pun dipegang oleh Sutradara atau artis/talent nya. Tidak pernah rasanya sebuah film disebut-sebut seperti ini, "Film yang dieditori oleh A memenangkan award di bla bla bla" atau "eh nonton film XYZ yuk, editornya si A lho...". Kalaupun nantinya ada orang awam yang tidak baca tulisan ini bilang editornya lebih terkenal daripada sutradara atau artisnya, saya traktir es krim selama sebulan*.
Pertamakali mengenal dunia editing video berawal dari mata kuliah Penulisan Naskah Iklan untuk tugas TVC. Lagi-lagi PNI, ya..mata kuliah ini memang mengubah banyak hal dalam hidup saya. Meskipun ketika SMP pernah mencoba editing video tapi rasanya baru ketika mengambil matakuliah itu mengedit video ada tujuannya. Karena asas bagi tugas dan terpaksa, mulailah saya bergelut di dunia itu. Karena hanya mengedit TVC 30-60 detik awalnya saya mengira editing video adalah hal yang sulit menguasai software karena banyak yang bilang tidak bisa, tapi baru saya sadari ketika tugas Tenik-teknik kehumasan membuat video company profile bahwa editing video adalah pekerjaan yang benar-benar tidak enak sehingga jarang ada yang bisa atau males jadi editor video T.T
Menjadi editor video berarti harus siap bekerja ditahap paling akhir sebuah alur kerja produksi video. Ketika pra produksi team yang bertugas mencari properti dan talent bekerja bersama-sama. Ketika proses produksi sutradara, kameramen, sound dan lain-lain bekerja bersama-sama syuting. Ketika post produksi editor sendirian menghadapi berbagai file video hasil syuting ketika yang lain sudah leyeh-leyeh, ya masih untung kalau sutradaranya ikut mengawasi #foreveralone. Belum lagi kalau revisi, ketika ada kesalahan saat syuting, semua akan ikut revisi,  tapi jika kesalahan terjadi saat editing, seorang editor berjibaku sendirian merevisi kesalahan. Setidaknya itu Gambaran alur produksi sederhana, ingat se der ha na. Karena mungkin untuk level yang lebih profesional mungkin akan berbeda, tapi setidaknya begitulah alur kerjanya.
Itu baru secara alur kerja, masih ada lagi tantangan seorang editor dalam menunaikan tugasnya. Di dalam kesendiriannya, seorang editor harus tahan melihat dan mendengar adegan atau kata-kata secara berulang-ulang untuk mencari bagian yang pas untuk dipotong dan disambungkan dengan adegan lainnya. Sehingga seringkali sebuah adegan atau dialog/kata sampai tengiang-ngiang hingga mimpi dan alam bawah sadarnya. Belum lagi menghadapi layer atau tumpukan file video puluhan hingga ratusan yang seringkali terlihat ruwet dan membuat stress. Ditambah lagi ketika musuh alat elektronik datang, yang tidak lain dan tidak bukan adalah "mati listrik". Saat proses editing sudah berjalan cukup banyak, layer beratus-ratus, deadline sudah dekat dan belum tersimpan, mati listrik bisa jadi alasan yang tepat untuk bunuh diri. 

Contoh tampilan editing video
Mungkin sebenarnya tidak seseram itu, karena ada tindakan-tindakan preventif yang bisa dilakukan untuk menghindarinya, tapi tetap saja hal-hal seperti itu tidak bisa dipisahkan dari tugas editor video. Meski sampai detik ini saya masih menyebut editing video adalah hal paling tidak enak dan menyebalkan. Toh nyatanya saya justru menyukai pekerjaan ini. Melalui editing video saya menjadi lebih dewasa, terutama dalam hal kesabaran. Ya, editing video haruslah sabar dan tertata, sabar untuk memulai sesuatu. Seperti saat kita memulai proses editing, dengan sabar kita menata apa saja yang materi-materi yang dibutuhkan ke dalam satu folder dan merencanakan akan seperti apa nantinya hasil dari pekerjaan kita. 
Sabar melihat dan mendengarkan sesuatu yang terus berulang-ulang, seperti dalam kehidupan banyak hal atau masalah yang mungkin tidak kita sukai terus berulang-ulang tapi toh kalau kita bersabar semua juga pasti akan berlalu. Kita perlu menunggu dan memilih dimana saat yang tepat untuk bertindak.
Sabar melihat hal-hal yang kacau dan rumit seperti tumpukan layer di Premiere. Kita hidup bersama banyak orang tentu menciptakan hubungan yang rumit termasuk permasalahannya. Tugas kita adalah bagaimana menjalani permasalahan yang rumit itu bahkan jika bisa menyederhanakannya sesederhana mungkin agar enak dilihat dan dijalani.
Sabar ketika apa yang sudah kita tata dan perjuangkan hilang begitu saja karena mati listrik. Yakin lah dalam hidup kita ini barang cuma sekali pasti pernah mengalami suatu masa dimana semua yang telah kita rencanakan, perjuangkan, kita susun rapi satu persatu tiba-tiba musnah hilang begitu saja seperti habis diterjang badai karena suatu masalah. Tapi apa yang kita bisa perbuat? tak ada ctrl+z di kehidupan nyata, hidup harus terus berjalan.
Sabar menanti hasil dari apa yang kita kerjakan seperti halnya proses rendering. Di komputer yang tidak begitu tinggi spesifikasi hardwarenya mungkin menunggu sebuah file video jadi disimpan adalah sebuah tantangan yang berat. Menunggu, menunggu dan menunggu...ada kalanya kita harus menunggu hingga 5 jam untuk sebuah file video berdurasi 30 menit untuk siap ditonton. Dalam hidup kita pasti pernah menunggu kan? apalagi di Indonesia.
Sejak awal dari tulisan ini saya tidak pernah mengklaim bahwa saya adalah seorang editor video, tapi saya adalah Seorang Yang Jadi Editor Video. Karena bagi saya seorang editor video sesungguhnya adalah orang yang benar-benar secara sadar belajar ilmu editing video, mempunyai naluri, insting dan sense seorang editor yang "tajam", sedangkan saya hanya terpaksa belajar editing video dan kebetulan sering mendapat tugas atau pekerjaan sebagai editor video, dan pengalaman saya baru 3 tahun. Saya juga belum pernah mengedit video yang berdurasi lebih dari 45 menit.
Seperti yang saya bilang tadi bahwa editing video menurut saya adalah perkerjaan yang tidak enak, tapi justru saya lebih memilih pekerjaan ini dibanding jadi kameramen, atau desainer grafis atau disuruh cari talent maupun properti. Pernah saya dimintai tolong untuk membuatkan desain packaging. Meskipun fee yang diberikan hampir sama dengan fee  untuk editing video pendek, tapi saya merasa berat sekali untuk mengerjakannya meski katanya itu lebih mudah daripada mengedit video.
Menjadi editor video mungkin pekerjaan yang tidak menyenangkan (menurut saya), tapi di dunia ini eee..atau setidaknya di Jogja ini hanya sedikit orang yang mau dan berprofesi sebagai editor video. Terlebih saat ini video sudah menjadi media yang banyak dipakai, sehingg banyak orang atau perusahaan yang mau membayar cukup tinggi untuk seorang editor video apalagi dia punya sedikit kemampuan tambahan lain dibidang video. Jadi pekerjaan ini patut di pertimbangkan.


***

Huaaah...bulan Mei akhirnya datang lagi, dan 31 Hari Menulis diselenggarakan lagi. Sudah tahun ketiga ini saya mengikuti acara yang diselenggarakan teman-teman komunikasi UGM ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tidak mengharap atau bercita-cita menjadi pemenang dalam acara ini, saya masih sadar bahwa kemampuan menulis saya belum pantas menerima gelar pemenang dalam acara ini. Saya hanya senang berbagi dan melihat acara ini adalah momen yang tepat untuk berbagi dan mengasah kemampuan menulis saya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tidak merencanakan secara detail akan menulis apa nantinya. Karena menurut saya dengan tidak merencanakannya saya justru dituntut untuk terus berpikir setiap harinya demi tidak mendapat denda. Karena seperti yang dikatakan mentor saya dalam sebuah acara, seorang yang benar-benar kreatif adalah seorang yang selalu berpikir untuk menyelesaikan masalah. 
Namun saya tetap mempunyai gambaran akan menulis topik apa saja. Beberapa tulisan saya nanti kebanyakan akan menuliskan cerita tahun lalu yang saat ini hanya menjadi draft di blog ini. Cerita di masa kini pun akan saya tulis juga dan beberapa tips selo dari saya. Di 31 Hari Menulis kali ini saya juga akan mencoba membuat sebuah fiksi jika nantinya memungkinkan.
Mari menulis.